Kisah Bung Karno Saat Menjadi Tawanan Belanda

Jakarta - Hari-hari menakutkan melingkupi Presiden Sukarno saat ditawan oleh tentara Belanda.
Suasana resah meliputi diri Sukarno pagi itu. Presiden Republik Indonesia (RI) tersebut terlihat bolak-balik di salah satu ruangan Istana Negara Yogyakarta.

Sejenak dia berpaling kepada Kolonel T.B. Simatupang, salah satu petinggi TNI yang berada di sana, meminta saran: apa yang sebaiknya harus dilakukannya?

"Sebaiknya Bung membiarkan mereka menangkap kita. Saya tahu pasti, mereka tidak akan membunuh tawanan,"ungkap Simatupang seperti pernah disampaikan kepada sejarawan Anhar Gonggong.

Beberapa jam kemudian sepasukan prajurit Korps Pasukan Khusus (KST) pimpinan Letnan J.B. Schussler memasuki Istana Negara. Masih segar dalam ingatan Schussler, dia melihat wajah Sukarno begitu muram.

Kendati berusaha tenang, namun komandan peleton Korps Pasukan Khusus (KST) KNIL itu menangkap kegelisahan dalam bahasa tubuh pimpinan kaum republiken tersebut.

"Yang pertama-tama ditanyakan oleh Sukarno dengan nada khawatir adalah apakah Kapten Westerling yang ditakuti itu adalah komandan kami?" kenang Schussler seperti dikutip Lambert Giebels dalam bukunya, Soekarno: Biografi 1901-1950.

Komandan peleton Baret Hijau itu menjawab jika Westerling sudah tidak menjadi komandan KST lagi. Dia kemudian memberitahu jika mulai detik itu, Sukarno dan jajarannya resmi ada dalam tawanan militer Belanda.

Schussler kemudian menyerahkan seluruh tawanan di istana itu kepada Kapten A.V. Vosveld, bawahan Kolonel D.R.A. van Langen, komandan Tigjer Brigade yang ditugaskan sebagai pimpinan operasi menduduki Yogyakarta.

"Vosveld memasuki istana dengan pistol otomatis siap di tangan ... Mengingatkan kembali dengan suara keras orang-orang yang berkumpul di ruang depan istana, bahwa mereka (mulai saat itu) berstatus sebagai tahanan,"ungkap Giebels.

Letnan J.A. Bakker, bawahan Vosveld, lantas diserahi tugas untuk mengurusi Sukarno Dalam kenangan Bakker, Sukarno saat itu mengenakan kemeja dan bretel tanpa kopiah dan tidak tampak seperti yang kerap dilihatnya di foto-foto.

"( Sukarno) sama sekali tidak mirip dengan lelaki ganteng seperti tampak di foto. Ia lebih mirip orang Cina yang mulai gundul dan terlihat sedih,"ungkap Bakker dalam sebuah surat panjang kepada keluarganya.

Kendati berupaya memberi kesan tenang, sejatinya Sukarno memang merasa takut. Dalam otobiografinya Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia yang disusun oleh Cindy Adams, Sukarno mengakui bahwa saat itu dirinya merasa tertekan.

"Perasaanku mengatakan bahwa mereka akan membunuhku ..."ungkap Sukarno.

Ketakutan Sukarno kian besar, saat bersama Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim, dia diterbangkan dalam sebuah pesawat Dakota yang tujuannya tidak jelas. Alih-alih dirinya, sang pilot yang menerbangkan mereka dari Maguwo itu word play here tidak paham tujuan perjalanan mereka.

"Dia masih belum membukakan kabar kemana tujuan kami,"ungkap Sukarno.

Mereka bertiga baru paham ketika pesawat mendarat di Sumatera Utara. Dari Medan mereka lantas dibawa ke Brastagi, sebuah kota berhawa sejuk. Di sana para tawanan politik itu ditempatkan dalam sebuah rumah besar yang dikitari oleh dua lapis kawat berduri serta ada dalam penjagaan ketat ratusan serdadu Belanda.

Ketakutan semakin menjalari diri Bung Karno ketika kakinya menginjak rumah pengasingan itu. Bayangan ancaman pembunuhan terus menghantuinya. Situasi itu semakin menjadi manakala Saniah, perempuan muda yang biasa memasak makanan buat ketiga tawanan itu, tiba-tiba menemui Sukarno.

"Saya tadi menanyakan apa yang akan saya masak untuk bapak besok dan opsir yang bertugas menyatakan: tidak perlu. Sukarno akan dihukum tembak besok pagi,"ungkap perempuan itu dalam nada gemetar.

Rasa tegang menyebabkan keringat dingin keluar dari sekujur tubuh Sukarno. Malam itu dia sama sekali tak bisa memicingkan mata sekalipun. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, muncul keinginan untuk mengambil Alquran yang selalu dibawanya kemana pun pergi.

Sambil mendekap kitab suci itu ke dadanya, hati Sukarno berdoa. Sukarno lantas membuka Alquran itu. Dia sama sekali tak peduli surat atau ayat Alquran apa yang akan dibacanya. Hanya satu keyakinan yang terbit dalam dirinya saat itu: berharap akan memperoleh petunjuk dari kalimat pertama di halaman sebelah kiri.

"Dengan tangan gemetar, kubuka kitab kecil yang berwarna hijau itu secara untung-untungan. Kubacalah kalimat yang paling atas di halaman sebelah kiri yang berbunyi: Janganlah percaya pada apa yang keluar dari mulut manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang mengetahui nasib dari pada umatNya."

Keesokan harinya memang tidak ada hukuman mati buat Sukarno. Namun sejak kejadian itu, Sukarno menjadi waswas dan sama sekali tidak mau menyentuh makanan kaleng yang disajikan oleh koki tentara Belanda. Dia baru mau makan jika itu dimasak Saniah dan diantarkan oleh Karno Sobiran (suami Saniah).

"Apa yang dimakan oleh kami, itulah yang dimakan oleh Bung Karno,"kenang Karno Sobiran seperti dinukil oleh Muhammad TWH dalam buku Pemimpin Republik Ditawan Belanda di Brastagi dan Prapat.

Untunglah kondisi itu tidak berlangsung lama. Setelah mendapat izin dari komandan tempat pengasingan tersebut, Sukarno dibolehkan untuk mendapat makanan langsung dari suami-istri tersebut, tidak dari para koki tentara Belanda. Dia pun menjadi tenang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Kapal Induk Perang Lawas Yang Efektif Dalam Pertempuran

China Menyerukan As Agar Tidak Menghalangi PBB Redam Serangan Israel ke Palestina

Penjelasan Warna Tuts Hitam Dan Putih Pada Piano