Kisah Bisnis Haram Pada Zaman Revolusi
Jakarta - Kisah pencari rente bertebaran di tengah Perang Kemerdekaan. Pasar gelap senjata api muncul di mana-mana. Bahkan sampai melibatkan pula tentara Inggris dan Belanda. Hawa dingin membekap kota Malang malam itu.
Gonggong anjing kampung bersahut-sahutan, menimbulkan suasana seram. Jarum jam nyaris menunjuk angka 12, saat Ishak (bukan nama sebenarnya) yang tengah tertidur pulas dibangunkan sang komandan regu dan seorang kawannya.
Walau terasa malas,
prajurit remaja tersebut terpaksa bangkit dari peraduannya yang berupa
tikar rombeng. Dia lantas diperintahkan untuk bersiap-siap. Sepuluh
menit kemudian, mereka bertiga sudah berjalan ke suatu tempat yang
dirahasiakan.
Pas sebelum azan subuh, ketiga anggota journey (Tentara Republik
Indonesia Pelajar) itu sudah tiba di wilayah Pakisaji. Mereka lantas
memasuki sebuah gubuk dan menunggu. Sekira lima menit kemudian, tetiba
muncul cahaya yang disorotkan dari senter kecil.
Dua orang bercelana
loreng tentara Belanda muncul di depan mereka. Tanpa banyak cakap, sang
komandan mengeluarkan segepok uang merah (uang yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Sipil Hindia Belanda) lalu menyerahkannya kepada salah satu
tentara Belanda itu.
Usai menghitung jumlahnya, salah satu prajurit Belanda itu memberi
isyarat kepada kawannya untuk meletakkan bawaan mereka yang dibungkus
kain hitam. Begitu dibuka, ternyata dua benda yang dibungkus kain itu
adalah dua pucuk senjata.
"Satu jenis Lee Enfield, satu lagi jenis Brengun,"ungkap eks anggota
TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) itu. Bisnis 'haram' pun berlangsung lancar.
Cerita Ishak tersebut memang bukan sekadar isapan jempol semata. Sekira
1946-1948, bisnis penjualan senjata api secara gelap marak terjadi di
wilayah Malang.
Dalam Sangkur dan Pena, Asmadi (penulis sekaligus pelaku
sejarah) bahkan sempat menyebut kisaran harga senjata dalam kurs uang
putih (uang yang dikeluarkan pemerintah RI): Dua Ratus Limapuluh Rupiah
untuk sepucuk Brengun dan Seratus Rupiah untuk sepucuk Lee Enfield.
Uniknya, kata Asmadi, bisnis senjata api itu tidak hanya melibatkan
tentara Belanda berkulit sawo matang, tapi juga tentara bule juga.
Biasanya mereka menjadi pemimpin yang mengatur alur penjualan itu.
"Supaya lebih aman, transaksi kerap juga dibayar dengan barang-barang
mentah seperti kopi, tembakau, teh, kina dan lain-lain," ujar penulis
yang merupakan eks anggota TRIP Malang itu.
Setelah Perjanjian Renville disepakati oleh pihak RI dan Belanda, bisnis
gelap senjata api malah semakin subur dan terkesan 'lawful'. Di Malang,
rute perjalanan senjata selundupan itu bermula dari pos-pos militer
Belanda di Malang, kemudian dialirkan melalui jalan raya
Malang-Kepanjen.
Dengan kereta api, barang-barang itu diangkut ke
Kepanjen. Sesampainya di sana lalu dipindahkan ke truk-truk militer yang
wajib membawanya ke garis demarkasi. Di titik yang sudah disepakati, kedua pihak yang sebenarnya tengah bermusuhan itu, bertemu dalam suasana akrab.
"Sikap bermusuhan sama sekali lenyap dan suasana malah menjadi penuh
persahabatan karena kedua belah pihak bisa menepati janjinya
masing-masing ..."tulis Asmadi.
Robert B. Cribb membenarkan adanya bisnis 'haram' itu. Dalam Gangters
and also Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the
Indonesian Change 1945-1949, Cribb menyatakan penyelundupan senjata
telah terjadi sejak tentara Inggris masuk ke wilayah-wilayah Indonesia
pada 1945-1946.
Bekerjasama dengan para outlaw lokal dan Polisi Sipil
Indonesia (yang ada di bawah koordinasi tentara Inggris), tentara
Inggris menekuni bisnis itu nyaris tanpa gangguan.
Selain berasal dari kesatuan tentara Inggris sendiri, senjata-senjata
itu pun sebagian besar adalah hasil rampasan dari tentara Jepang yang
disimpan di Singapura. Dari gudang-gudang di pelabuhan, alat-alat
pembunuh itu lantas dialirkan ke Batavia lewat angkutan-angkutan
militer.
Sesampai di Pelabuhan Tanjungpriok, barulah senjata-senjata api
itu berpindah tangan ke pihak Republik lewat perempuan-perempuan
pekerja seks komersial Pasar Senen.
"Koneksi dunia hitam juga penting dalam rantai perdagangan senjata itu
karena merekalah yang secara langsung bertanggungjawab terhadap aliran
senjata itu ke pihak pembeli,"ungkap sejarawan asal Australia itu.
Setelah tentara Inggris terakhir hengkang pada Desember 1946, tradisi
cari untung itu ternyata diteruskan oleh kolega-kolega mereka di militer
Belanda yang mendambakan sekadar 'uang tambahan' untuk
bersenang-senang.
Pasar Atom adalah tempat favorit untuk melakukan
transaksi, selain di batas kota yang masuk dalam wilayah pinggiran
Jakarta seperti Bekasi dan Karawang.
Di tempat lain seperti di Sumatra, transaksi malah berupa barter barang:
senjata api ditukar dencandu. Itu seperti dilakukan pada 1948 oleh
Letnan Muda Sho Bun Seng, anggota telik sandi TNI (Tentara Nasional
Indonesia) dari unit Singa Pasar Usang di Padang, Sumatera Barat.
"Barang-barang haram itu kami jual dengan harga tinggi di Singapura,
tapi tak jarang langsung ditukar dengan senjata dan amunisi ..."kenang
lelaki yang menapaki masa tuanya di utara Jakarta itu.
Praktik penjualan senjata api kepada musuh memang lazin dilakukan oleh
para 'prajurit-prajurit nakal' yang sudah merasa bosan hidup susah di
tengah perang. Itu bahkan terjadi di wilayah-wilayah konflik besar dunia
seperti Vietnam, Irak, Afghanistan dan Kamboja.
Komentar
Posting Komentar